Komnas Perempuan: Hukuman Mati Tidak Berikan Perlindungan, Harus Dihapus

Sejumlah pengunjuk rasa menyalakan lilin dalam demo di depan istana kepresidenan untuk memprotes hukuman mati di Jakarta. (Foto/dok: Bay Ismoyo/AFP)
Jakarta, Borneokalbar.com — Peringatan Hari Anti-Hukuman Mati Sedunia pekan lalu kembali membuka dialog tentang pemberlakuan hukuman yang dinilai banyak kalangan tidak memberi manfaat pada siapapun. Setidaknya hal ini ditegaskan oleh Komnas Perempuan dalam siaran persnya yang mendesak hakim untuk “tidak lagi menjatuhkan vonis pidana mati atas alasan apa pun termasuk lewat justifikasi isu keamanan negara dan masyarakat karena sejatinya hukuman mati tidak memberikan perlindungan pada siapa pun.”


Pernyataan Komnas Perempuan ini sejalan dengan tema besar Hari Anti-Hukuman Mati Sedunia “The Death Penalty Protects No One: Abolish It Now (Hukuman Mati Tidak Melindungi Siapapun: Hapus Sekarang).” Tampak jelas tema itu berupaya mengubah cara pandang yang salah (miskonsepsi) bahwa hukuman mati dapat memberikan rasa aman pada orang dan masyarakat pada umumnya karena terbukti hal ini tidak berhasil.

Berbicara dalam sebuah diskusi di Jakarta pekan lalu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Atmajaya Asmin Fransiska mengatakan hukuman mati tidak akan memberikan efek jera dan menciptakan ruang yang aman dari kejahatan.

"Pertama, tidak ada korelasi antara efek jera dengan hukuman mati. Kita sebagai kelompok yang mendukung hak asasi manusia, prinsip dasarnya adalah hukuman mati punya kaitan erat dengan hak untuk hidup. Hukuman mati sangat erat kaitannya dengan penyiksaan ditambah lagi arbitrary arrest atau arbitrary killing yang terjadi di beberapa wilayah salah satunya di Indonesia," katanya.

Ditambahkannya, konsep hukuman mati bahkan penuh dengan rasisme karena lahir dari rezim yang memberlakukan siapa yang unggul dan siapa yang lemah, yakni penjajahan. Penerapan hukuman mati juga melahirkan standar moral yang bias serta melanggengkan budaya kolonial dan patriarki.

Mengutip kesimpulan dari dua peneliti Amerika Serikat, John Donnohue dan John Wolfers, Asmin mengatakan bahwa tidak ada bukti pemberlakukan hukuman mati menurunkan tingkat kejahatan atau menyelamatkan banyak nyawa. Bahkan menurut fakta-fakta dalam kasus pembunuhan yang diteliti kedua akademisi Amerika itu, kasus pembunuhan tidak juga turun walau pelaku tindak kejahatan sebelumnya divonis mati. Hal serupa terjadi di Indonesia.

Institute of Criminal Justice Reform (ICJR) mencatat 165 hukuman mati pada tahun 2017, yang terutama didominasi oleh pelaku kejahatan narkoba. Lalu apakah angka kejahatan narkoba turun? Pada tahun 2022, tingkat kejahatan ini malah melesat dan jumlah pelaku yang dijatuhi hukuman mati melonjak menjadi 428 orang.

Asmin mengatakan sistem peradilan harus terlebih dahulu direkonstruksi jika memang Indonesia serius menghapus hukuman mati. Baik lewat reformasi peradilan agar lebih independen dan imparsial, tata kelola birokrasi dan aparat penegak hukum yang lebih baik, dan jaminan penegakan hukum.

Dalam diskusi itu, Devy Christa, putri mantan narapidana mati kasus narkoba Merry Utami, menceritakan bagaimana sebelum ditangkap, ibunya adalah pekerja migran di Taiwan. Ibunya berangkat ke Taiwan pada 1998 untuk mencari uang bagi pengobatan anaknya yang sakit jantung. Merry ditangkap pada Oktober 2001 karena membawa heroin 1,1 kilogram saat tiba kembali di bandara Soekarno-Hatta. Dalam persidangan ia mengaku dijebak oleh temannya, seorang laki-laki asal Nepal, untuk membawa barang haram itu. Hakim tak bergeming, Merry divonis mati pada tahun yang sama dan masuk daftar narapidana yang akan dieksekusi pada tahun 2016. Selama 15 tahun ia mendekam di Lapas Tangerang.

"(Selama) 15 tahun mama saya ada di Lapas Tangerang, saya tidak pernah tahu bagaimana proses hukumnya, vonisnya apa, kenapa mama saya di dalam. Ketika 2016 saya dapat telepon dari Kejari (Tangerang), saya syok (karena) saya diberitahu ibu sudah dipindahkan ke Nusakambangan," ujarnya.

Devy mengatakan kakaknya yang sakit jantung itu meninggal tiga tahun setelah ibu mereka ditangkap. Menurutnya, pihak kejaksaan hanya memberi dirinya waktu untuk bertemu ibunya tiga kali sebelum eksekusi dilakukan pada hari Kamis. Selama di Cilacap, dia merasa tidak ada keterbukaan dari pemerintah untuk memberitahu keluarga soal vonis hingga eksekusi.

Devy menceritakan kesulitan yang dialaminya jika ingin menjenguk ibunya di sel isolasi di Lapas Nusakambangan, di mana ia harus membuka pakaian, diraba dan disuruh jongkok. Ia menilai tindakan tersebut tidak manusiawi. Ia harus mengupayakan penginapan sendiri, dan baru dibantu pihak Kejaksaan pada hari ketiga. Ia berupaya tegar saat melihat kondisi sel isolasi ibunya yang mengenaskan.

Devy sempat menandatangani surat penerimaan jenazah sehari sebelum ibunya dijadwalkan akan dieksekusi, dan baru mengetahui bahwa Presiden Joko Widodo memberikan grasi kepada ibunya beberapa hari setelah surat itu diteken.

Komnas Perempuan Terus Serukan Penghapusan Hukuman Mati

Komisioner Komnas Perempuan Tiasri Wiandari menjelaskan pihaknya selalu memanfaatkan peringatan Hari Anti-Hukuman Mati Sedunia sebagai ruang untuk mengkampanyekan kepada masyarakat dan mendorong rekomendasi-rekomendasi kebijakan untuk mengupayakan penghapusan hukuman mati.

Dia mengakui ada kemajuan dengan disahkannya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru di mana hukuman mati bukan lagi menjadi pidana pokok tetapi sebagai pidana alternatif.

Kemajuan lainnya dalam KUHP baru adalah pidana mati bisa diganti dengan hukuman seumur hidup atau yang lainnya. [fw/em]

Sumber : Voa 

Tinggalkan Komentar

Back Next